Mengutip dari:
FUNGSI DAN PERAN PANWASLU DALAM SISTEM
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
(Kajian dari aspek yuridis)
Oleh : J. Tjiptabudy
A. Pendahuluan
Dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya orde baru hingga saat ini
telah mengembangkan pemikiran dari rakyat untuk mengimplementasikan asas
kedaulatan rakyat dengan berbagai cara, sehingga dalam setiap sendi kehidupan
bernegara nilai-nilai kedaulatan rakyat selalu menjadi jantung yang memompa
darah keseluruh tubuh kenegaraan Republik Indonesia, selama ini rakyat merasa
bahwa kedaulatan mereka hanya terbatas pada partisipasi mereka dalam pemilu
untuk memilih anggota legislatif yang merupakan perwujudan wakil rakyat,
sehingga rakyat menuntut agar peranan rakyat tidak hanya terbatas pada lingkup
pemilihan legislatif saja melainkan juga lingkup pemilihan lembaga eksekutif
mulai dari lingkup lembaga eksekutif tertinggi yaitu presiden, sampai pemilihan
kepala daerah.
Pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat
guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan
akuntabilitas.
Akuntabiltas
berarti setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada publik baik
secara politik maupun secara hukum. Bertanggung jawab secara politik
berarti setiap unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu mempunyai kewajiban
menjelaskan kepada masyarakat fungsinya dan alasan tindakan yang diambil.
Bertanggungjawab secara hukum berarti setiap pihak yang diduga melakukan
pelanggaran hukum perihal asas-asas Pemilu yang demokratik wajib tunduk pada
proses penegakan hukum berdasarkan asas praduga tak bersalah dan asas due
process of law yang diatur dalam KUHAP (ADAB, 2003 : 8-9).
Oleh
karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di Negara
demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang
mandiri dari pemerintah (Ahmad Nadir, 2005 : 156).
Undang-Undang
Dasar 1945 dalam pasal 22 ayat (5) menggariskan bahwa “pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri”. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung
jawab KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh wilayah Negara
kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan
tertentu. Sifat mandiri menegaskan bahwa KPU dalam menyelenggarkaan dan
melaksanakan pemilihan umum bebas dari pengaruh pihak manapun.
Sedangkan
pengawasan dari penyelenggaraan Pemilu tersebut diberikan kepada Badan
Pengawasa Pemilu (Bawaslu) dan jajaran dibawahnya Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu).
B. Kelembagaan dan
Penciptaan Pemilu yang Demokratis
Pemilu
merupakan satu-sayunya prosedur demokrasi yang melegitimasi kewenangan dan
tindakan para wakil rakyat untuk melakukan tindakan tertentu. Pemilu adalah
mekanisme sirkulasi dan regenerasi kekuasaan. Pemilu juga satu-satunya cara
untuk menggantikan kekuasaan lama tanpa melalui kekerasan (chaos) dan kudeta.
Melalui
pemilu rakyat dapat menentukan sikap politiknya untuk tetap percaya pada
pemerintah lama, atau menggantikannya dengan yang baru. Dengan kata lain,
pemilu merupakan sarana penting dalam mempromosikan dan meminta akuntabilitas
dari para pejabat public. Melalui pemilu diharapkan proses politik yang
berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan
benar-benar mewakili kepentingan masyarakat pemilih. Karenanya, Pemilu 2009
yang sedang berlangsung , tidak dapat lagi disebut sebagai eksperimen demokrasi
yang akan mentolerir berbagai kelemahan dan peluang-peluang yang dapat
mengancam kehidupan demokratis itu sendiri.
Pemilu
dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa prasyarat dasar. Tidak
seperti pada masa rezim orde baru dimana pemilu seringkali disebut sebagai
‘demokrasi seolah-olah’, pemilu yang sedang berlangsung sekarang sebagai pemilu
reformasi harus mampu menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis.
Setidak-tidaknya, ada 5 (lima) parameter universal dalam menentukan kadar
demokratis atau tidaknya pemilu tersebut, yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu,
2009 : 7-8):
o Universalitas (Universality)
Karena nilai-nilai demokrasi merupakan nilai universal, maka
pemilu yang demokratis juga harus dapat diukur secara universal. Artinya
konsep, system, prosedur, perangkat dan pelaksanaan pemilu harus mengikuti
kaedah-kaedah demokrasi universal itu sendiri.
o Kesetaraan (Equality)
Pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kesetaraan
antara masing-masing kontestan untuk berkompetisi. Salah satu unsur penting
yang akan mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah timpangnya kekuasaan dan
kekuatan sumberdya yang dimiliki kontestan pemilu. Secara sederhana, antara
partai politik besar dengan partai politik kecil yang baru lahir tentunya
memiliki kesejnjangan sumberdaya yang lebar. Oleh karena itu, regulasi pemilu
seharusnya dapat meminimalisir terjadinya political inequality.
o Kebebasan (Freedom)
Dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas
menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming
pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka. Jika hal
demikian terjadi dalam pelaksanaan pemilu, maka perlakunya harus diancam dengan
sanksi pidana pemilu yang berat.
o Kerahasiaan (Secrecy)
Apapun pilihan politik yang diambil oleh pemilih, tidak boleh
diketahui oleh pihak manapun, bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasiaan
sebagai suatu prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.
o Transparansi (Transparency)
Segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu harus
berlandaskan prinsip transparansi, baik KPU, peserta pemilu maupun Pengawas
Pemilu. Transparansi ini terkait dengan dua hal, yakni kinerja dan penggunaan
sumberdaya. KPU harus dapat meyakinkan public dan peserta pemilu bahwa mereka
adalah lembaga independen yang kan menjadi pelaksana pemilu yang adil dan tidak
berpihak (imparsial). Pengawas dan pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan
diti pada posisi yang netral dan tidak memihak pada salah satu peserta pemilu.
Sementara peserta pemilu harus dapat menjelaskan kepada public darimana, berapa
dan siapa yang menjadi donator untuk membiayai aktifitas kampanye pemilu
mereka. Bagaimana system rekrutmen kandidat dan proses regenarasi politik yang
ditempuh sehingga semua pihak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai
kandidat wakil rakyat.
Sementara
itu Ozbudun mengajukan tiga kriteria utama utuk mengukur apakah proses Pemilu
berjalan secara free, fair and competitive. Ketiga kriteria tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertama,
adanya hak pilih universal bagi orang dewasa (universal adult suffrage).
Artinya, setiap warga Negara dewasa mempunyai hak pilih yang sama tanpa
membedakan jenis kelamin, agama, suku, etnis, faham, keturunan, kekayaan dan
semacamnya, kecuali mereka dicabut haknya berdasarkan undang-undang; hak pilih
universal ini pada umumnya dapat difungsikan untuk dua pemilihan : (1)
pemilihan para pejabat eksekutif, baik di pusat maupun di daerah; dan (2)
pemilihan para wakil untuk lembaga perwakilan rakyat atau legislative (Putranto
: 1981).
Kedua,
adanya proses pemilihan yang adil (fairness of voting). Untuk mengukur apakah
suatu pemilu dijalankan secara fair atau tidak, dapat diamati melalui beberapa
instrument berikut : (1) adanya jaminan kerahasiaan dalam proses pemilihan atau
pencoblosan (secret ballot), yang harus diejawantahkan dalam undang-undang
pemilu; (2) adanya jaminan bahwa prosedur penghitungan suara dilakukan secara
terbuka (open counting), dimana semua warganegara mempunyai akses dan berhak
menyaksikan prosesnya; (3) tidak adanya kecurangan-kecurangan dalam pemilihan
atau tahapan pemilihan, baik ditahapan pendaftaran, kampanye, pencoblosan
sampai pada tahapan perhitungan suara (absence of electrol froud); (4) tidak
ada kekerasan, baik kekerasan politik yang dilakukan oleh aparat
keamanan/pemerintah, partai politik peserta pemilu, maupun para pemilih
(absence of violence); dan (5) tidak adanya intimidasi, khususnya dalam proses
pemberian suara atau pencoblosan (absence of intimidations).
Ketiga,
adanya hak khususnya bagi partai politik untuk mengorganisasi dan mengajukan
para kandidat, sehingga para pemilih mempunyai banyak pilihan untuk memilih di
antara para calon yang berbeda baik secara kelompok maupun program-programnya.
C. Fungsi dan Peran
Pengawas Pemilu
Di berbagai Negara di dunia sebetulnya pelaksanaan pemilu
yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga yang kita kenal sekarang
dengan sebutan Badan Pengawas Pemilu untuk tingkat nasional dan Panitia
Pengawas Pemilu untuk tingkat provinsi dan Kabupaten/kota untuk menjamin
pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil. Bahkan dalam praktek pemilu di
Negara-negara yang sudah berpengalaman melaksanakan pemilu yang demokratis,
keberadaan lembaga Pengawas Pemilu tidak dibutuhkan. Namun para perancang
undang-undang pemilu sejak Orde Baru sampai sekarang menghendaki lembaga
Pengawas Pemilu itu eksis, karena karena posisi maupun perannya dinilai
strategis dalam upaya pengawasan pelaksanaan pemilu sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku terutama menegakkan asas pemilu yang luber dan
jurdil. Hal ini dapat kita temukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa : “Dalam penyelenggaraan pemilihan umum,
diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut
benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan
perundang-undangan”
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 disebutkan bahwa
fungsi Pengawas Pemilu yang dijabarkan dalam tugas, wewenang dan
kewajiban Pengawas Pemilu. Berkaitan dengan tugas pengawasan pemilu ada
pembagian tugas pengawasan pemilu yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
(a) Bawaslu melakukan pengawasan terhadap seluruh
tahapan penyelenggaraan Pemilu;
(b) Panwaslu Provinsi mengawasi tahapan
penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi;
(c) Panwaslu kabupaten/kota mengawasi penyelenggaraan
Pemilu di wilayah kabupaten/kota;
(d) Panwaslu Kecamatan mengawasi tahapan
penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan;
(e) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi tahapan
penyelenggaraan Pemilu ditingkat desa/kelurahan;
(f) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawssi
tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.
Adapun tugas dan wewenang Pengawas Pemilu dapatlah
dijelaskan secara umum sebagai berikut :
(1) Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu;
(2) Menerima laporan dugaan pelanggaran
perundang-undangan pemilu;
(3) Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU/KPU
provinsi/KPU kabupaten/kota atau kepolisian atau instansi lainnya untuk
ditindaklanjuti;
(4) Mengawasi tindak lanjut rekomendasi;
(5) Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan
Pemilu; dan
(6) Melaksanakan :
a) Tugas dan wewenang lain ditetapkan oleh
undang-undang (untuk Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota);
b) Melaksanakan tugas lain dari Panwaslu
Kecamatan (untuk Pengawas Pemilu lapangan); dan
c) Melaksanakan tugas lain dari Bawaslu
(untuk Pengawas Pemilu Luar Negeri).
Dalam melaksanakan tugas, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan
Panwaslu Kabupaten/Kota berwenang :
(a) Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk
menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran;
(b) Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas
temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana
Pemilu.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Pengawas Pemilu
berkewajiban sebagai berikut :
No.
|
Kewajiban
|
Pengawas Pemilu
|
1.
|
Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya
|
Pengawas Pemilu disemua tingkatan
|
2.
|
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan
|
Bawaslu
|
3.
|
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas Pengawas Pemilu pada tingkatan dibawahnya
|
Panwaslu Provinsi
|
4.
|
Menerima dan menindak lanjuti laporan yang berkaitan
dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilu.
|
Pengawas Pemilu disemua tingkatan
|
5.
|
Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada presiden, DPR
dan KPU sesuai dengan tahapan secara periodic dan/atau berdasarkan kebutuhan.
|
Bawaslu
|
6.
|
Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu
sesuai dengan tahapan Pemilu secara peridik dan/atau berdasarkan kebutuhan
|
Panwaslu Provinsi
|
7.
|
Menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan
dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi yang
mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat
provinsi.
|
Panwaslu Provinsi
|
8.
|
Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Provinsi
berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten/kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu
di tingkat Kabupaten/Kota.
|
Panwaslu Kabupaten/Kota
|
9.
|
Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota
berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kecamatan.
|
Panwaslu Kecamatan
|
10.
|
Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu
Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
PPK yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat
Kecamatan.
|
Panwaslu Kecamatan
|
11
|
Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Kecamatan
berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kecamatan.
|
Pengawas Pemilu Lapangan
|
12
|
Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Kecamatan
berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPS dan KPPS
yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat
Desa/Kelurahan.
|
Pengawas Pemilu Lapangan
|
Sumber
: Buku Pedoman Pengawasan Pemilu 2009-Bawaslu
Apabila dibandingkan dengan Pemilu tahun 2004, sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang 12 tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003,
Pengawas Pemilu mempunyai tiga fungsi (tugas dan wewenang) yaitu :
pertama, mengawasi pelaksanaan setiap
tahapan pemilu;
kedua, menangani kasus-kasus pelanggaran
administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu; dan
ketiga, menyelesaikan sengketa dalam
penyelenggaraan pemilu atau sengketa nonhasil pemilu
Sedangkan di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tugas
yang terakhir (tugas ketiga) hanya ada pada Pengawas Pemilu tingkat
kabupaten/kota, namun undang-undang pemilu yang baru tersebut menambah kekuatan
Pengawas Pemilu yang meliputi beberapa aspek yaitu pertama, secara
kelembagaan, Pengawas Pemilu tingkat nasional bersifat tetap dan kini memiliki
jaringan sampai ke desa/kelurahan; kedua, secara fungsi, Pengawas Pemilu
berwenang memberikan rekomendasi untuk memberhentikan anggota KPU dan KPU
daerah yang dinilai melanggar peraturan perundang-undangan pemilu.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi setiap
tahapan pemilu, apa yang dilakukan Pengawas Pemilu sebetulnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dilakukan pemantau pemilu atau pengamat pemilu, yakni
sama-sama mengkritik, mengimbau dan memproses apabila terdapat hal yang
menyimpang dari undang-undang. Namun terkait dengan penanganan kasus-kasus
dugaan pelanggaran pemilu, maka disini terdapat perbedaan yang fundamental,
karena Pengawas Pemilu menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menerima
laporan, dengan kata lain Pengawas Pemilu adalah merupakan satu-satunya pintu
masuk untuk penyampaian laporan pelanggaran pemilu. Selain itu pula Pengawas
Pemilu juga satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
kajian terhadap laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan
apakah hal tersebut benar-benar mengandung pelanggaran. Bila terjadi
pelanggaran administrasi maka Pengawas Pemilu merekomendasikan kepada KPU/KPUD
untuk dikenakan sanksi administratif kepada pelanggar, sedangkan bila laporan
tersebut mengandung unsur pelanggaran pidana maka Pengawas Pemilu meneruskannya
kepada penyidik kepolisian. Oleh karena itu dalam pemilu 2004 dikatakan bahwa
dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu, tugas Pengawas Pemilu tidak
lebih dari sekedar “tukang pos” yang mengantar kasus ke KPU/KPUD atau ke
kepolisian. Pengawas Pemilu pada pemilu 2004 tidak bisa berbuat apa-apa jika
rekomendasi ke KPU/KPUD tidak ditindaklanjuti.
Posisi “tukang pos” sebagaimana dalam pemilu 2004 tersebut,
kini ditingkatkan menjadi “tukang pukul” hal ini dimungkinkan karena
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
memberi “pentungan” kepada Pengawas Pemilu untuk “mementung” KPU/KPUD jika
rekomendasi Pengawas Pemilu tidak ditindaklanjuti oleh KPU/KPUD. Artinya
Pengawas Pemilu dapat memproses secara pidana bagi anggota KPU maupun KPUD yang
tidak menindaklanjuti laporan atau rekomendasi Pengawas Pemilu. Ketentuan ini
terjabarkan secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
pada BAB XXI Ketentuan Pidana, pada Bab ini setidaknya terdapat terdapat 5
(lima) pasal (pasal 263, pasal 264, pasal 267, pasal 268, pasal 275) yang
mengancam hukuman pidana bagi KPU/KPUD yang tidak menindaklanjuti rekomendasi
Pengawas Pemilu.
Jika dalam hal menangani hasus-kasus pelanggaran
administrasi, Pengawas Pemilu bertambah kekuatannya, tidak demikian halnya
dalam hal penanganan kasus-kasus pidana. Kesuksesan Panwas Pemilu 2004 dalam
menangani kasus-kasus pidana sebetulnya tidak lepas dari adanya unsur
kepolisian dan kejaksaan dalam organ Pengawas Pemilu. Keberadaan dua unsur
tersebut memudahkan Pengawas Pemilu dalam koordinasi dan percepatan penanganan
kasus-kasus pidana pemilu yang memiliki limit waktu yang ketat. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 telah mengeluarkan unsur kepolisian dan kejaksaan dari
organ Pengawas Pemilu, sehingga hal ini dapat mempengaruhi percepatan
penanganan kasus-kasus. Dengan memperhatikan kelemahan ini panitia pengawas
disamping harus meningkatkan kapasitas dan kemampuannya juga harus benar-benar
dapat bertindak secara professional.
Selain itu faktor lain yang menjadi kendala dalam pelaksanaan fungsi
Pengawas Pemilu adalah kendala waktu. Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 lebih ketat dalam mengatur penerusan kasus pidana yang diajukan oleh
Pengawas Pemilu ke kepolisian. Undang-Undang secara ketat memberikan waktu 3
(tiga) hari (lihat Pasal 247 ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 2008) atau jika
diperlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut dilakukan
paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima (lihat Pasal 247 ayat 7 UU
Nomor 10 Tahun 2008), dilain pihak undang-undang juga membatasi waktu laporan
pelanggaran pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu disampaikan
paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu
(lihat Pasal 247 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 2008). pembatasan batas waktu
tersebut memang baik untuk memberi kepastian hukum dalam penanganan tindak
pidana pemilu tetapi dilain pihak Pengawas pemilu akan mengalami kesulitan jika
saksi yang harus diklarifikasi bertempat tinggal jauh terutama di provinsi
kepulauan, demikian juga masyarakat akan mengalami kesulitan dalam
membuat laporan pelanggaran pemilu kepada Pengawas Pemilu terutama yang tinggal
pada wilayah-wilayah terpencil yang transportasinya sulit. Kendala tersebut
coba diatasi oleh Bawaslu bersama dengan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian
RI dengan membuat MoU tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu).
Secara umum dapat dikatakan keberadaan Sentra Gakkumdu cukup berhasil dalam
melaksanakan penegakan hukum secara sinergis antara Bawaslu (Pengawas Pemilu),
Kepolisian dan Kejaksaan. Sekalipun demikian haruslah diakui bahwa peran Sentra
Gakkumdu belumlah optimal terutama berkaitan dengan kordinasi antara
pihak-pihak dalam Sentra Gakkumdu maupun semangat kebersamaan untuk mengemban
tugas menegakkan hukum dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu.
D. Penutup.
Dari gambaran sebagaimana diuraikan diatas maka terlihat
bahwa Panwas Pemilu mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengawal
pelaksanaan pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pentingnya peranan Pengawas Pemilu karena semua pengaduan haruslah melewati satu
pintu yaitu Pengawas Pemilu. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya sangat
diharapkan Pengawas Pemilu dapat bekerja secara professional serta bertindak
cepat dan tepat dalam penanganan setiap laporan dari masyarakat maupun temuan
dari Pengawas Pemilu sendiri.
Dilepasnya unsur kepolisian dan kejaksaan dari Pengawas
Pemilu tidak berarti Pengawas Pemilu menjadi lemah tetapi haruslah lebih
menunjukkan profesionalismenya dalam mengawal pelaksanaan peraturan
perundang-undangan pemilu.
Bahan Pustaka
ADAB, Buku 3, 2003, Lokakarya
Nasional Bagi Fasilitator Lokal NTT, Maluku dan Papua Dalam Program Pendidikan
Pemilih Menyongsong Pemilu 2004, Hotel Santika Bali, 4-8 Desember 2003.
Ahmad Nadir, 2005, Pilkada
Langsung dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Penerbit Averroes Press,
Malang.
Modul Pengawasan, 2009, Badan
Pengawas Pemilu-Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
Nuridin, Rachamad K. Dwi Susilo, Tri
Sulistyaningsih, 2006, Kebijakan Elitis Politik Indonesia, Penerbit
Pustaka Pelajar-FISIP UMM, Malang.
Pedoman Pengawasan Pemilu 2009,
2009, Bawaslu RI, Jakarta.
Ramlan Surbakti dkk, 2008,
Perekayaan Sistem Pemilihan Umum Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis,
Partnership for Governance Reform Indonesia, Jakarta.
Sigit Putranto dan Kusumowidagdo,
1981, Sistem Pemilihan Umum Universal dan Parohial, Prisma (9).
Topo Santoso, 2006, Tindak Pidana
Pemilu, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.